Muhammad bin Abdullah (Arab:
محمد بن عبد الله; Transliterasi:
Muḥammad;
diucapkan (ca. 570/571 Mekkah [مَكَةَ ]/[ مَكَهْ ] – 8 Juni, 632 Madinah), adalah pembawa ajaran/agama islam , dan diyakini oleh umat Muslim sebagai nabi dan rasul yang terakhir. Menurut sirah (biografi) yang tercatat tentang Muhammad, ia disebutkan lahir sekitar 20 April 570/ 571
, di Mekkah (
Makkah) dan wafat pada
8 juni 632 di Madinah pada usia 63 tahun. Kedua kota tersebut terletak di daerah Hijazh, Arab Saudi. Nabi Muhammad haram digambarkan dalam bentuk patung, kartun ataupun gambar ilustrasi.
Michael. H. Hart dalam bukunya
The 100
menilai Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah
manusia. Menurut Hart, Muhammad adalah satu-satunya orang yang berhasil
meraih keberhasilan luar biasa baik dalam hal spiritual maupun kemasyarakatan. Hart mencatat bahwa Muhammad mampu mengelola bangsa yang awalnya egoistis,
barbar,
terbelakang dan terpecah belah oleh sentimen kesukuan, menjadi bangsa
yang maju dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan kemiliteran dan bahkan
sanggup mengalahkan pasukan Romawi yang saat itu merupakan kekuatan militer terdepan di dunia.
Mengapa Kita Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW?
Ada sekelompok kecil umat Islam berpendapat bahwa merayakan hari
kelahiran Nabi SAW adalah bid’ah tercela, bahkan dituduh haram, dengan
alasan Nabi SAW tidak pernah melakukan dan tidak ada hadits shahih yang
menganjurkan. “Benarkah pendapat seperti ini, dan perlukah pendapat ini
diikuti?”
KH Ma’ruf Asrori mengawali ceramahmya itu pada Peringatan Maulid Nabi
Saw yang diselenggarakan Jam’iyyah Al-Islah Jemurwonosari Surabaya,
Ahad (12/1)
“Seandainya Nabi Saw. memang tidak pernah merayakan hari
kelahirannya, dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual
menganjurkan merayakan Maulid, maka hal ini tidak serta merta menjadi
alasan untuk mengharamkan Maulid Nabi Saw. dan menganggapnya sebagai
bid’ah yang tercela,” kata Kiai Ma’ruf.
Menurutnya, umat Islam juga mempertimbangkan dalil-dalil agama yang
lain, seperti Qiyas, Ijma’ dan pemahaman secara kontekstual terhadap
dalil-dalil syar’i. Karena itu, meskipun telah dimaklumi bahwa Nabi Saw.
tidak pernah merayakan Maulid dan tidak ada hadits shahih yang secara
tekstual menganjurkan Maulid, para ulama fuqaha dan ahli hadits dari
berbagai madzhab tetap menganggap baik dan menganjurkan perayaan Maulid
Nabi Saw.
“Peringatan Mailid Nabi juga didasarkan pada pemahaman secara kontekstual (
istinbath/ijtihad) terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits,” katanya.
Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar perayaan maulid adalah:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ : 107) dan ayat “
Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 58).
Nabi Muhammad SAW sendiri mengagungkan hari kelahirannya dengan puasa, sebagaimana hadis,
“Dari
Abu Qatadah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW telah ditanya perihal
puasa hari Senin, beliau bersabda: “Pada hari itu aku dilahirkan dan
pada hari itu pula wahyu diturunkan.” (HR. Muslim)
Ayat di atas memerintahkan kita agar bergembira dengan karunia Allah
dan rahmat-Nya yang diberikan kepada kita. Sahabat Ibnu Abbas ketika
menafsirkan ayat tersebut berkata:
“Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad SAW.”
Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa merayakan hari kelahiran Nabi SAW
merupakan pengejawantahan dari ayat dan hadits di atas yang
memerintahkan kita bergembira dengan rahmat Allah.
“Hal ini secara implisit memuat arti perayaan itu sendiri. Hanya saja
cara mengungkapkannya berbeda, namun maksud dan tujuannya tetap sama.
Artinya bisa dengan puasa, menjamu makanan, berkumpul guna berdzikir,
bershalawat atas Nabi SAW, ataupun menyimak perangainya yang mulia.,”
demikian KH Ma’ruf Asrori yang juga penasehat Jam’iyyah Al-Islah sambil
mengetengahkan ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang mendasarinya.
Pemahaman seperti ini perlu diketengahkan. “Peringatan maulid Nabi
yang setiap tahunnya diadakan tidak sekedar seremonial belaka, tapi juga
di-
ilmiahi agar bernilai ibadah, dalam rangka mensyukuri rahmat Allah SWT dan menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah.
”Apalagi kalau dilihat acaranya sungguh padat dengan ibadah, seperti
membaca al-Qur’an, shalawat, istighotsah dan ceramah sekitar akhlak Nabi
yang perlu kita teladani, seperti akhlak beliau menjadi kepala
keluarga, menerima tamu, dengan tetangga, menghadapi musuhnya dan
posisinya sebagai kepala negara,” ungkapnya di tengah ratusan warga
nahdliyin. (
Red: Anam)
Ada sekelompok kecil umat Islam berpendapat bahwa merayakan hari
kelahiran Nabi SAW adalah bid’ah tercela, bahkan dituduh haram, dengan
alasan Nabi SAW tidak pernah melakukan dan tidak ada hadits shahih yang
menganjurkan. “Benarkah pendapat seperti ini, dan perlukah pendapat ini
diikuti?”
KH Ma’ruf Asrori mengawali ceramahmya itu pada Peringatan Maulid Nabi
Saw yang diselenggarakan Jam’iyyah Al-Islah Jemurwonosari Surabaya,
Ahad (12/1)
“Seandainya Nabi Saw. memang tidak pernah merayakan hari
kelahirannya, dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual
menganjurkan merayakan Maulid, maka hal ini tidak serta merta menjadi
alasan untuk mengharamkan Maulid Nabi Saw. dan menganggapnya sebagai
bid’ah yang tercela,” kata Kiai Ma’ruf.
Menurutnya, umat Islam juga mempertimbangkan dalil-dalil agama yang
lain, seperti Qiyas, Ijma’ dan pemahaman secara kontekstual terhadap
dalil-dalil syar’i. Karena itu, meskipun telah dimaklumi bahwa Nabi Saw.
tidak pernah merayakan Maulid dan tidak ada hadits shahih yang secara
tekstual menganjurkan Maulid, para ulama fuqaha dan ahli hadits dari
berbagai madzhab tetap menganggap baik dan menganjurkan perayaan Maulid
Nabi Saw.
“Peringatan Mailid Nabi juga didasarkan pada pemahaman secara kontekstual (
istinbath/ijtihad) terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits,” katanya.
Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar perayaan maulid adalah:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ : 107) dan ayat “
Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 58).
Nabi Muhammad SAW sendiri mengagungkan hari kelahirannya dengan puasa, sebagaimana hadis,
“Dari
Abu Qatadah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW telah ditanya perihal
puasa hari Senin, beliau bersabda: “Pada hari itu aku dilahirkan dan
pada hari itu pula wahyu diturunkan.” (HR. Muslim)
Ayat di atas memerintahkan kita agar bergembira dengan karunia Allah
dan rahmat-Nya yang diberikan kepada kita. Sahabat Ibnu Abbas ketika
menafsirkan ayat tersebut berkata:
“Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad SAW.”
Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa merayakan hari kelahiran Nabi SAW
merupakan pengejawantahan dari ayat dan hadits di atas yang
memerintahkan kita bergembira dengan rahmat Allah.
“Hal ini secara implisit memuat arti perayaan itu sendiri. Hanya saja
cara mengungkapkannya berbeda, namun maksud dan tujuannya tetap sama.
Artinya bisa dengan puasa, menjamu makanan, berkumpul guna berdzikir,
bershalawat atas Nabi SAW, ataupun menyimak perangainya yang mulia.,”
demikian KH Ma’ruf Asrori yang juga penasehat Jam’iyyah Al-Islah sambil
mengetengahkan ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang mendasarinya.
Pemahaman seperti ini perlu diketengahkan. “Peringatan maulid Nabi
yang setiap tahunnya diadakan tidak sekedar seremonial belaka, tapi juga
di-
ilmiahi agar bernilai ibadah, dalam rangka mensyukuri rahmat Allah SWT dan menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah.
”Apalagi kalau dilihat acaranya sungguh padat dengan ibadah, seperti
membaca al-Qur’an, shalawat, istighotsah dan ceramah sekitar akhlak Nabi
yang perlu kita teladani, seperti akhlak beliau menjadi kepala
keluarga, menerima tamu, dengan tetangga, menghadapi musuhnya dan
posisinya sebagai kepala negara,” ungkapnya di tengah ratusan warga
nahdliyin. (
Red: Anam)
Ada sekelompok kecil umat Islam berpendapat bahwa merayakan hari
kelahiran Nabi SAW adalah bid’ah tercela, bahkan dituduh haram, dengan
alasan Nabi SAW tidak pernah melakukan dan tidak ada hadits shahih yang
menganjurkan. “Benarkah pendapat seperti ini, dan perlukah pendapat ini
diikuti?”
KH Ma’ruf Asrori mengawali ceramahmya itu pada Peringatan Maulid Nabi
Saw yang diselenggarakan Jam’iyyah Al-Islah Jemurwonosari Surabaya,
Ahad (12/1)
“Seandainya Nabi Saw. memang tidak pernah merayakan hari
kelahirannya, dan tidak ada hadits shahih yang secara tekstual
menganjurkan merayakan Maulid, maka hal ini tidak serta merta menjadi
alasan untuk mengharamkan Maulid Nabi Saw. dan menganggapnya sebagai
bid’ah yang tercela,” kata Kiai Ma’ruf.
Menurutnya, umat Islam juga mempertimbangkan dalil-dalil agama yang
lain, seperti Qiyas, Ijma’ dan pemahaman secara kontekstual terhadap
dalil-dalil syar’i. Karena itu, meskipun telah dimaklumi bahwa Nabi Saw.
tidak pernah merayakan Maulid dan tidak ada hadits shahih yang secara
tekstual menganjurkan Maulid, para ulama fuqaha dan ahli hadits dari
berbagai madzhab tetap menganggap baik dan menganjurkan perayaan Maulid
Nabi Saw.
“Peringatan Mailid Nabi juga didasarkan pada pemahaman secara kontekstual (
istinbath/ijtihad) terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits,” katanya.
Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar perayaan maulid adalah:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya’ : 107) dan ayat “
Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus : 58).
Nabi Muhammad SAW sendiri mengagungkan hari kelahirannya dengan puasa, sebagaimana hadis,
“Dari
Abu Qatadah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW telah ditanya perihal
puasa hari Senin, beliau bersabda: “Pada hari itu aku dilahirkan dan
pada hari itu pula wahyu diturunkan.” (HR. Muslim)
Ayat di atas memerintahkan kita agar bergembira dengan karunia Allah
dan rahmat-Nya yang diberikan kepada kita. Sahabat Ibnu Abbas ketika
menafsirkan ayat tersebut berkata:
“Karunia Allah adalah ilmu agama, sedangkan rahmat-Nya adalah Muhammad SAW.”
Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa merayakan hari kelahiran Nabi SAW
merupakan pengejawantahan dari ayat dan hadits di atas yang
memerintahkan kita bergembira dengan rahmat Allah.
“Hal ini secara implisit memuat arti perayaan itu sendiri. Hanya saja
cara mengungkapkannya berbeda, namun maksud dan tujuannya tetap sama.
Artinya bisa dengan puasa, menjamu makanan, berkumpul guna berdzikir,
bershalawat atas Nabi SAW, ataupun menyimak perangainya yang mulia.,”
demikian KH Ma’ruf Asrori yang juga penasehat Jam’iyyah Al-Islah sambil
mengetengahkan ayat al-Qur’an dan hadits nabi yang mendasarinya.
Pemahaman seperti ini perlu diketengahkan. “Peringatan maulid Nabi
yang setiap tahunnya diadakan tidak sekedar seremonial belaka, tapi juga
di-
ilmiahi agar bernilai ibadah, dalam rangka mensyukuri rahmat Allah SWT dan menunjukkan kecintaan kita terhadap Rasulullah.
”Apalagi kalau dilihat acaranya sungguh padat dengan ibadah, seperti
membaca al-Qur’an, shalawat, istighotsah dan ceramah sekitar akhlak Nabi
yang perlu kita teladani, seperti akhlak beliau menjadi kepala
keluarga, menerima tamu, dengan tetangga, menghadapi musuhnya dan
posisinya sebagai kepala negara,” ungkapnya di tengah ratusan warga
nahdliyin. (
Red: Anam)
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,49382-lang,id-c,nasional-t,Mengapa+Kita+Memperingati+Maulid+Nabi+Muhammad+SAW+-.phpx
http://id.wikipedia.org/wiki/Nabi_Muhammad_SAW